Rabu, 17 Oktober 2012

Ibu (Harta Tak Terbeli, Tak Tercuri)



Menuliskan satu kata itu saja, aku sudah menahan senyum dan tangis haru.

Semoga ceritaku ini, bisa membuatmu memahami, bahwa Ibu, adalah harta yang tak terbeli, dan tak akan bisa kau curi dimanapun.




Aku sayang Ibu. Aku sayang Ibuku. Kau?
Kau pasti juga :)

Iya, kali ini aku akan bercerita tentang Ibuku. Ibuku yang aku sayang itu. Seminggu yang lalu, Ibuku melahirkan. Melahirkan diusianya yang tak lagi muda. Disaat aku sudah berusia delapan belas tahun, dan adikku yang sudah berusia dua belas tahun. Adikku yang baru lahir itu, namanya Damai. Dia terlahir dari rahim yang sama, rahim Ibuku. Namun bapak kami berbeda. Entah aku menyebutnya apa, hanya saja, aku tak ingin menyebutnya saudara tiriku. Sebut saja dia adikku.



Ibuku yang dulu..

Delapan belas tahunan yang lalu, dibulan Februari tanggal 20, aku yakin, Ibuku pasti tersenyum bahagia dan bangga, beliau telah menjadi wanita yang sempurna. Beliau pasti tersenyum saat itu, melihatku yang terlahir dengan sempurna di dunia melaluinya. Tentu saja, aku hanya menebaknya. Tapi bukankah seperti itu kiranya perasaan setiap Ibu muda? , Mungkin.



Enam tahun kemudian, beliau memberiku seorang adik lucu bernama Ismail. Adik laki lakiku yang berpotensi itu. Ayah dan Ibuku, tentu sangat beruntung sudah punya sepasang anak laki laki dan perempuan. Yang tentunya, sangat menjadi penerus harapan dan mimpi mimpi mereka.


Tiga tahun setelahnya, Ayahku pergi. Pergi untuk selamanya. Meninggalkanku yang saat itu masih berusia sembilan tahun yang saat itu, ingatanku belum terlalu kuat benar. Dan adikku yang juga masih berusia tiga tahun. Ayah pergi, meninggalkan kesan kesan baik. Meninggalkan seberkas semangat untukku, dan segenggam harapan untuk adikku, yang bahkan saat itu belum mengerti benar tentang arti mencintai Ayah.  Dan tentu saja, Ayah pergi meninggalkan Ibu. Orang yang sangat mencintainya. Menemaninya setiap suka dukanya, memberinya dua orang anak yang lucu dan menemaninya membesarkan dan merawat anaknya. Sejak hari itu, Ibu terlihat sangat terpukul. Aku mencoba memahami perasaan Ibu diwaktu itu, tentu saja saat aku tlah sebesar ini. Saat itu, Ibu pasti mengalami guncangan terberat dalam hidupnya. Kehilangan sebagian dari jiwanya. Ibu memang terpukul. Namun beliau tak lantas membiarkanku dan adikku terlantar dan mencari pelampiasan pergi. Sungguh ini yang membuatku tak kuat menahan tangis, hingga sekarang bahkan jika aku mengingatnya. Saat itu Ibuku menjadi seorang single parent. Pekerjaan apapun beliau lakukan, sambil bekerja pun beliau mencari usaha sampingan dengan berjualan. Ya, pasti beban Ibu saat itu sangat berat. Mencukupi kebutuhan dua anaknya yang masih kecil, yang butuh semuanya, dan sangat butuh kasih sayangnya. Samar-samar di ingatanku. Terkadang, aku mendengar Ibu menangis di tengah malam, berdoa dan memohon agar beliau selalu dikuatkan. Bahkan aku pernah sengaja pura pura tertidur, tengah malam, Ibu  datang ke kamarku, membelaiku sambil menangis. Sambil mengucap doa doa suci untukku. Saat itu, aku merasa, “Ya Allah, aku beruntung punya Ibu seperti Ibuku. Dia hebat Ya Allah. Dia totalitas menyayangiku. Jaga dia Ya Allah, lindungi beliau. Panjangkan umurnya. Berilah dia kesehatan untuk terus menjagaku dan adikku. Sayangi dan senyumkan dia Ya Allah :’ “


Dan hingga sampai sekitar satu tahunan yang lalu, Ibuku memutuskan untuk menikah lagi. Ibuku menikah lagi setelah sembilan tahunan menjadi single parent. Kali ini, adalah guncangan yang besar dalam hidupku, dan adikku tentunya. Apalagi Ibuku menikah disaat aku duduk di kelas dua belas, dan adikku yang duduk di kelas enam sd. Ya, kami sama sama akan menghadapi ujian nasional. Tapi sebelum itu, kami harus menghadapi ujian hidup yang satu ini. Semuanya berjalan cepat. Yang aku rasa. Suatu hari, ada seorang laki laki datang kedalam kehidupan Ibu, dan dengan cepat dia mengambil Ibu dari aku dan adikku. Sederhana begitu. Saat saat itu adalah saat saat berat untukku. saat aku hendak lelah menangis, tapi aku harus mengerti, dan aku ingin membuat Ibu tersenyum lagi. Aku kecewa. Jujur saja. Ibuku yang hebat, dulunya, seperti kehilangan cakar dan taringnya. Bukan. Bukan tentu saja. Harusnya aku sadar, Ibuku hanyalah seorang wanita biasa, yang walaupun terlihat sangat kuat, beliau tetap lemah untuk beberapa sisi yang dewasa ini, harus ku mengerti. Saat itu aku ingat benar, bagaimana Ibu meminta restuku untuk menikah lagi. Saat itu aku tak melarangnya, karena pernikahan yang menurutnya akan membuatnya bahagia itu adalah haknya. Namun aku juga tak lantas berkata, aku merestuinya. Aku memang tak mau keadaan yang sudah baik akan berubah menjadi sesuatu yang bahagia kelihatannya, tapi belum pasti bahagianya. Dan, Ibuku tetap memutuskan untuk menikah. Aku sadar, restu anak itu tidak penting. Restu orang tualah yang penting, dan ya, Mbahkung ku merestuinya.



Hingga setelah semua keadaan menjadi berubah total. Ibu terlihat menjadi Ibu yang laiinya. Ya, dulu kasih sayangnya terfokus hanya untukku dan adikku, dan sekarang, aku harus rela membaginya dengan suami ibuku. Hingga beberapa bulan kemudian, Ibuku hamil. Jujur, aku ingin marah. Bukan apa apa, aku begitu menghawatirkan Ibu. Hamil diusia segitu sangat riskan untuknya. Aku hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Ibu. Tapi Ibu telah terlanjur hamil. Dan aku tak bisa apapun. Aku harus dan berusaha Ikhlas. Aku tetap saja tak begitu peduli dengan kehamilan Ibu. Kehamilan yang sangat tak ku tunggu. Sampai akhirnya, aku merasa tersentak lagi. Aku merasa, Ibuku, adalah seorang pejuang sejati. Saat itu adalah detik detik kelahiran Damai. Damai terlahir terlambat dua minggu dari prediksi dokter. Pagi itu, dengan kaki bengkak dan perut kesakitan, saat aku hendak mengantar adik laki lakiku kesekolah, Ibu merintih kepadaku dan adikku.

Sepenggal kata katanya yang membuatku menangis pagi itu, sambil menangis menahan sakitnya Ibu berkata, “ Nak, Ibu pamit dulu, Ibu sudah nggak kuat, doakan Ibu ya Nak, doakan Ibu diberi kemudahan melahirkan.”



Seketika, aku menahan airmataku sambil memeluk Ibu, dan berusaha menghapus airmata beliau. Doaku dalam hati, “Ya Allah, lindungi selalu Ibuku Ya Allah, berilah kemudahan dalam perjuangannya, panjangkan umurnya Ya Allah.. “

Hingga akhirnya, Ibu melahirkan Damai dengan selamat dan sehat. Dan aku melihat kelegaan di senyum Ibu.



Nama Damai, adalah nama yang ku usulkan kepada Ibu, nama yang tiba tiba muncul difikiranku saat aku membayangkan akan punya penghuni rumah baru. Dan Ibu mengambil nama itu, untuk nama depannya. Entah karena beliau ingin, atau karena beliau ingin memberiku penghargaan, setauku, hak veto pemberian nama kepada anak adalah menjadi hak orang tua.

Dalam namanya, ku selipkan doa, agar nantinya, Damai, akan membawa kedamaian, bagi rumahku, keluargaku, dan dunia, pada saatnya nanti.



Awalnya, aku berencana untuk tak peduli. Tapi Damai sangat lucu. Bibirnya mungil berwana merah. Dan dia menyenyumiku dan senang mendengarku bersenandung. Menyayangi Damai, adalah salah satu caraku bersyukur dan wujud sayang sejatiku kepada Ibu.



I love you Bu, :)

2 komentar:

Share yukk :))