Menuliskan
satu kata itu saja, aku sudah menahan senyum dan tangis haru.
Semoga
ceritaku ini, bisa membuatmu memahami, bahwa Ibu, adalah harta yang tak
terbeli, dan tak akan bisa kau curi dimanapun.
Aku sayang
Ibu. Aku sayang Ibuku. Kau?
Kau pasti juga :)
Kau pasti juga :)
Iya, kali
ini aku akan bercerita tentang Ibuku. Ibuku yang aku sayang itu. Seminggu yang
lalu, Ibuku melahirkan. Melahirkan diusianya yang tak lagi muda. Disaat aku
sudah berusia delapan belas tahun, dan adikku yang sudah berusia dua belas
tahun. Adikku yang baru lahir itu, namanya Damai. Dia terlahir dari rahim yang
sama, rahim Ibuku. Namun bapak kami berbeda. Entah aku menyebutnya apa, hanya
saja, aku tak ingin menyebutnya saudara tiriku. Sebut saja dia adikku.
Ibuku yang
dulu..
Delapan belas
tahunan yang lalu, dibulan Februari tanggal 20, aku yakin, Ibuku pasti
tersenyum bahagia dan bangga, beliau telah menjadi wanita yang sempurna. Beliau
pasti tersenyum saat itu, melihatku yang terlahir dengan sempurna di dunia
melaluinya. Tentu saja, aku hanya menebaknya. Tapi bukankah seperti itu kiranya
perasaan setiap Ibu muda? , Mungkin.
Enam tahun
kemudian, beliau memberiku seorang adik lucu bernama Ismail. Adik laki lakiku
yang berpotensi itu. Ayah dan Ibuku, tentu sangat beruntung sudah punya
sepasang anak laki laki dan perempuan. Yang tentunya, sangat menjadi penerus
harapan dan mimpi mimpi mereka.
Tiga tahun
setelahnya, Ayahku pergi. Pergi untuk selamanya. Meninggalkanku yang saat itu
masih berusia sembilan tahun yang saat itu, ingatanku belum terlalu kuat benar.
Dan adikku yang juga masih berusia tiga tahun. Ayah pergi, meninggalkan kesan
kesan baik. Meninggalkan seberkas semangat untukku, dan segenggam harapan untuk
adikku, yang bahkan saat itu belum mengerti benar tentang arti mencintai
Ayah. Dan tentu saja, Ayah pergi
meninggalkan Ibu. Orang yang sangat mencintainya. Menemaninya setiap suka
dukanya, memberinya dua orang anak yang lucu dan menemaninya membesarkan dan
merawat anaknya. Sejak hari itu, Ibu terlihat sangat terpukul. Aku mencoba
memahami perasaan Ibu diwaktu itu, tentu saja saat aku tlah sebesar ini. Saat
itu, Ibu pasti mengalami guncangan terberat dalam hidupnya. Kehilangan sebagian
dari jiwanya. Ibu memang terpukul. Namun beliau tak lantas membiarkanku dan
adikku terlantar dan mencari pelampiasan pergi. Sungguh ini yang membuatku tak
kuat menahan tangis, hingga sekarang bahkan jika aku mengingatnya. Saat itu
Ibuku menjadi seorang single parent. Pekerjaan apapun beliau lakukan, sambil
bekerja pun beliau mencari usaha sampingan dengan berjualan. Ya, pasti beban
Ibu saat itu sangat berat. Mencukupi kebutuhan dua anaknya yang masih kecil, yang
butuh semuanya, dan sangat butuh kasih sayangnya. Samar-samar di ingatanku.
Terkadang, aku mendengar Ibu menangis di tengah malam, berdoa dan memohon agar
beliau selalu dikuatkan. Bahkan aku pernah sengaja pura pura tertidur, tengah
malam, Ibu datang ke kamarku, membelaiku
sambil menangis. Sambil mengucap doa doa suci untukku. Saat itu, aku merasa, “Ya
Allah, aku beruntung punya Ibu seperti Ibuku. Dia hebat Ya Allah. Dia totalitas
menyayangiku. Jaga dia Ya Allah, lindungi beliau. Panjangkan umurnya. Berilah
dia kesehatan untuk terus menjagaku dan adikku. Sayangi dan senyumkan dia Ya
Allah :’ “
Dan hingga
sampai sekitar satu tahunan yang lalu, Ibuku memutuskan untuk menikah lagi.
Ibuku menikah lagi setelah sembilan tahunan menjadi single parent. Kali ini,
adalah guncangan yang besar dalam hidupku, dan adikku tentunya. Apalagi Ibuku
menikah disaat aku duduk di kelas dua belas, dan adikku yang duduk di kelas
enam sd. Ya, kami sama sama akan menghadapi ujian nasional. Tapi sebelum itu,
kami harus menghadapi ujian hidup yang satu ini. Semuanya berjalan cepat. Yang
aku rasa. Suatu hari, ada seorang laki laki datang kedalam kehidupan Ibu, dan
dengan cepat dia mengambil Ibu dari aku dan adikku. Sederhana begitu. Saat saat
itu adalah saat saat berat untukku. saat aku hendak lelah menangis, tapi aku
harus mengerti, dan aku ingin membuat Ibu tersenyum lagi. Aku kecewa. Jujur
saja. Ibuku yang hebat, dulunya, seperti kehilangan cakar dan taringnya. Bukan.
Bukan tentu saja. Harusnya aku sadar, Ibuku hanyalah seorang wanita biasa, yang
walaupun terlihat sangat kuat, beliau tetap lemah untuk beberapa sisi yang
dewasa ini, harus ku mengerti. Saat itu aku ingat benar, bagaimana Ibu meminta
restuku untuk menikah lagi. Saat itu aku tak melarangnya, karena pernikahan
yang menurutnya akan membuatnya bahagia itu adalah haknya. Namun aku juga tak
lantas berkata, aku merestuinya. Aku memang tak mau keadaan yang sudah baik
akan berubah menjadi sesuatu yang bahagia kelihatannya, tapi belum pasti
bahagianya. Dan, Ibuku tetap memutuskan untuk menikah. Aku sadar, restu anak itu
tidak penting. Restu orang tualah yang penting, dan ya, Mbahkung ku
merestuinya.
Hingga
setelah semua keadaan menjadi berubah total. Ibu terlihat menjadi Ibu yang
laiinya. Ya, dulu kasih sayangnya terfokus hanya untukku dan adikku, dan
sekarang, aku harus rela membaginya dengan suami ibuku. Hingga beberapa bulan
kemudian, Ibuku hamil. Jujur, aku ingin marah. Bukan apa apa, aku begitu
menghawatirkan Ibu. Hamil diusia segitu sangat riskan untuknya. Aku hanya tak
ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Ibu. Tapi Ibu telah terlanjur hamil. Dan
aku tak bisa apapun. Aku harus dan berusaha Ikhlas. Aku tetap saja tak begitu
peduli dengan kehamilan Ibu. Kehamilan yang sangat tak ku tunggu. Sampai
akhirnya, aku merasa tersentak lagi. Aku merasa, Ibuku, adalah seorang pejuang
sejati. Saat itu adalah detik detik kelahiran Damai. Damai terlahir terlambat
dua minggu dari prediksi dokter. Pagi itu, dengan kaki bengkak dan perut
kesakitan, saat aku hendak mengantar adik laki lakiku kesekolah, Ibu merintih
kepadaku dan adikku.
Sepenggal
kata katanya yang membuatku menangis pagi itu, sambil menangis menahan sakitnya
Ibu berkata, “ Nak, Ibu pamit dulu, Ibu sudah nggak kuat, doakan Ibu ya Nak,
doakan Ibu diberi kemudahan melahirkan.”
Seketika,
aku menahan airmataku sambil memeluk Ibu, dan berusaha menghapus airmata
beliau. Doaku dalam hati, “Ya Allah, lindungi selalu Ibuku Ya Allah, berilah
kemudahan dalam perjuangannya, panjangkan umurnya Ya Allah.. “
Hingga
akhirnya, Ibu melahirkan Damai dengan selamat dan sehat. Dan aku melihat
kelegaan di senyum Ibu.
Nama Damai,
adalah nama yang ku usulkan kepada Ibu, nama yang tiba tiba muncul difikiranku
saat aku membayangkan akan punya penghuni rumah baru. Dan Ibu mengambil nama
itu, untuk nama depannya. Entah karena beliau ingin, atau karena beliau ingin
memberiku penghargaan, setauku, hak veto pemberian nama kepada anak adalah
menjadi hak orang tua.
Dalam
namanya, ku selipkan doa, agar nantinya, Damai, akan membawa kedamaian, bagi
rumahku, keluargaku, dan dunia, pada saatnya nanti.
Awalnya, aku
berencana untuk tak peduli. Tapi Damai sangat lucu. Bibirnya mungil berwana
merah. Dan dia menyenyumiku dan senang mendengarku bersenandung. Menyayangi
Damai, adalah salah satu caraku bersyukur dan wujud sayang sejatiku kepada Ibu.
I love you
Bu, :)
:')
BalasHapus:')
BalasHapus