Aku seperti berada pada sebuah fase kehidupan yang berwarna
abu-abu. Dimana mimpi-mimpi yang kutulis sewaktu kecil dulu, sudah banyak ku
amandemen. Tidak ‘pure’ lagi. Dan ketika aku hendak menulis mimpiku yang baru,
aku hanya membatu.
Apa mimpiku? Kenapa aku harus bermimpi? Kenapa impian harus
ditulis?
Ketiga pertanyaan itu sangat mudah ku jawab dengan
penjelasannya saat aku duduk dikelas enam sd dulu. Sedangkan sekarang,
pertanyaan-pertanyaan itu membuat jawabanku bercabang-cabang. Terkadang sesuatu
yang mengejutkan datang tanpa diharapkan kedatangannya, begitupun dengan
kepergiaannya. Sebut saja mimpiku banyak. Aku ingin begini, aku ingin begitu,
begitulah soundtrack film doraemon. Dan dari kesemuanya, aku tidak bisa
memastikan manakah yang benar benar akan ku miliki lima tahun lagi.
Impian-impian kecilku, atau impian besarku. Semua masih abu-abu untuk ku jawab
dengan lantang.
Namun, tidak bisa menjawabnya lantang, bukan berarti tidak
melakukan apapun. Gerilya ini jangan sampai habis. Jika belajar banyak hal itu
menyenangkan, kenapa tidak melakukan semuanya? Multitasking itu diperbolehkan,
kan? Ada seseorang yang pernah berkata padaku, “Kamu bisa semuanya. Kebisaanmu bahkan
bisa mewakili kebisaan orang-orang di ruangan ini. Tapi sebenarnya kamu ingin
jadi apa?”. Aku terdiam. Aku tidak punya satu jawaban, karena aku punya banyak
jawaban dan penjelasannya untuk pertanyaan itu. “Aku ingin bisa banyak hal”
jawabku sambil tersenyum. “Oke, maka selamanya kamu tidak akan pernah jadi
apapun.” dia berkata dengan nada meninggi. Sedikit tersentak, namun aku tak
gentar. Hidup ini penuh pilihan. Dan bukan sebuah kesalahan jika pilihan yang
kita pilih berbeda. “Tidak ada pilihan yang salah” – Mr Nobody.
Seperti kebanyakan orang, aku juga salah seorang yang
menulis impianku, didinding kamarku. Walaupun tidak se-frontal dulu, namun aku
tetap menuliskannya. Berbeda dengan dulu, sekarang aku menulis impian yang
lebih realistis yang jangkauannya bisa ku rengkuh. Mungkin salah satu penyebab
banyak mimpi yang belum terwujud adalah karena mimpi itu terlalu fantasi atau
mungkin jaraknya yang tak terengkuh, sedangkan upayanya biasa-biasa saja. Dan
sekarang yang ku lakukan adalah memperpendek jarak rengkuhannya. Banyak yang
menertawakanku, menatapku dengan pandangan yang seakan berkata, “Memangnya kamu
bisa?” “Ah, paling cuma angan dan obrolan semu saja”. Terserah mau dibilang
apa. Aku hanya berupaya memberikan kepercayaan kepada ‘diriku’, sebelum orang
lain mempercayai ‘diriku’ juga nantinya. Masih ingin menangkap ‘utopia’ku,
walau aku tau, selamanya dia tidak mungkin bisa ku tangkap.
"Bermimpi pada saat berada di fase abu-abu itu bukan percuma, namun bukankah bergerak menembus kabut itu lebih ringan daripada terbang dengan sayap yang rapuh?"
Make Your Move!
#SomethingToRemember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Share yukk :))