- Bumi, 6 Desember 2013 - Royal, cuaca cerah ceria…
Seperti cuaca hari ini, yang cerah ceria, begitupun hatiku
*halah*. Ehehe, okey well hari ini aku punya jadwal dating nonton. Yeiy, aku
dapet temen nonton!! (maksudku, susah banget cari temen yang punya selera dan
ketertarikan yang sama buat nonton film). Dan hari ini aku ditemenin sahabat
dan temen sebangku pas SMK, Wiwid. Harusnya kemarin sih nontonnya, tapi karena
suatu hal, jadi ditunda hari ini.
Sampai Royal jam 5 sore. Karena Wiwid baru bisa jam 7 an, ya
akhirnya aku menunggunya. Weitss jangan salah. Aku tau betul aku akan menunggu
dengan menyenangkan. Cuma dua jam, apalah artinya kalau dihabiskan di gramedia.
Hehe. Seperti biasa, setelah ngabsen satu-satu buku baru dan baca sinopsisnya,
aku tertarik buat baca bukunya Sudjiwo Tejo yang udah jadi selebtwit gegara
Republik #Jancukers yang dia buat. Bukunya seru, aliran ceritanya deres,
menggelitik, kritikan cerdas, dan seenggaknya bisa bikin aku betah baca kurang
lebih 60an halamannya sampai tibalah waktunya perutku pada ansambling an minta
makan. Okey, aku laper. Dan emang paling nggak asiknya jalan sendirian adalah nggak
ada yang jadi alarm makan, apalagi kalau udah keasyikan sama sesuatu,
semuamuanya lupa. Akhirnya beli donat kesukaan, dan datanglah si Wiwid.
Sesuai jadwal dating, *ceilah* hari ini aku nonton film “99
Cahaya Di Langit Eropa”. Film yang bikin aku penasaran setelah liat trailernya.
Emmm, seperti biasa, aku akan memberikan sedikit ulasan film ini. Tapi ingat,
aku ini penikmat film, bukan pengamat film. Jadi biarkanlah aku mengulas film
ini dari sudut pandangku. Dan tenanglah, aku tidak begitu suka mengkritik. Aku
penikmat, bukan pengamat. Aku awam, bukan kritikus, emm anggap saja begitu.
Hehe. Let’s see..
Film 99 Cahaya di Langit Eropa ini adalah sebuah film yang
diangkat dari novel berjudul sama. Yang menceritakan perjalanan Rangga dan
Hanum di Eropa. Hanum menemani Rangga yang menyelesaikan pendidikan S3 nya di
Wina, Austria. Sambil mengisi waktu luang, Hanum mengikuti kursus bahasa Jerman,
dan mempertemukannya dengan Fatma Pasha. Dan dari situlah perjalanan Hanum
mempelajari islam di Eropa dimulai… (untuk lebih jelasnya silahkan menonton
dibioskop kesayangan anda ya >> ceritanya ini teaser ehehe) Okey, lanjut.
Satu. Dari judulnya, udah sedikit terlihat kalau film ini,
bernuansa islami. Iya, karena ada 99 nya, mewakili 99 asmaul husna. Dan ada
perasaan senang, ketika masuk, studionya hampir penuh. Tanda kalau promosinya
gencar dan berhasil, eiitss maksudku tanda kalau filmnya bagus. Dan ya,
mayoritas yang nonton film ini anak anak berkerudung, tentu saja kecuali yang
laki-laki, walaupun aku sangat merekomendasikan juga film ini untuk mereka yang
non muslim. Ini bagian dari sejarah, dan mereka harus tau.
Dua. Maka, abaikan saja tehnik atau apalah yang semacamnya.
Aku terlalu menikmati gambar dan settingnya yang subhanallah kerennya.
Memanjakan mata penonton banget. Pemainnya keren, lokasinya keren, dan nilai
historis setiap tempat juga keren. Di film ini aku dapet banyak ilmu sejarah
baru, yang banyak belum aku tau. Padahal cukup berhasil membuat hati tergetar,
setidaknya tadi pas aku lihat film ini.
Tiga. Aku ucapkan ‘asem’ untuk penulis naskah film ini.
Nyaris tanpa celah. Dialog-dialognya itu terasa ‘penting’ semua. Padat dan
punya kesinambungan terus dengan cerita setelahnya. Ada beberapa dialog yang
masih nempel disini, karena tadi terasa jleb banget di hati. “Kalau kamu punya
masalah besar, katakan pada masalah besarmu, Hei masalah besar, aku punya Tuhan
yang lebih besar”- Aysee.
Empat. Aku sempat beberapa kali terharu dan nangis, *ah
dasar mellow*. Film ini bikin banyak pertanyaan besar dikepalaku untuk diriku
sendiri. Aku sampai seperti merasa menjadi seperti Hanum, Aku mengaku muslim
tapi belum teguh menutup auratku, belum berhijab. Ini pernyataan klise dan
mungkin terlalu banyak alasan dan alibi menjelaskannya. Aku tau dan barangkali
aku terlalu naïf tentang ini. Tapi yang jelas, film ini memberikan pandangan
lain untukku tentang berhijab. Aku selalu merasa lebih teduh ketika menggunakannya,
aku tau, barangkali tidak butuh banyak alasan untuk menjelaskan ini, tapi aku
tidak mau ketika nanti keputusanku ini dipertanyakan, aku tidak berhasil
menjawab keresahan mereka. Doakan aku ya Readers, semoga aku bisa seperti
Fatma, setidaknya keteguhan dan keteduhannya. Dan sempat terfikir dikepalaku,
‘Apa orang-orang yang tidak berhijab harus terkena kanker dulu seperti Aysee,
kemudian rambut menjadi rontok, lalu tak berambut dan akhirnya berhijab untuk
menutupinya?’ Astaghfirullah. Aku ini mikir apa :( Tentu saja ini bukan doa ya
Allah, selalu jaga dan lindungi aku, peluk aku, bimbing aku, ajari aku selalu
:’)
Lima. Untuk yang kali ini, ijinkan aku melewati film ini
tanpa soundtrack. Music scoring film ini menurutku udah pas banget dan
mendukung adegan dan gambar gambar di film ini. Tapi I’m sorry to say, not for
this soundtrack. Sebelumnya aku minta maaf buat postingan soundcloudku di lagu
‘Dia Dia Dia’ nya Fatin yang disitu aku tulis, soundtracknya dari film ini.
(barangkali ada diantara kamu yang ngikutin soundcloudku, ehehe -___-)
sepertinya aku salah ngasih creditnya. Di film ini memang ada Fatin, tapi nggak
nyanyi lagu itu, dan bukan bermaksud mengkritik, tapi semua lagu yang ngiringin
filmnya itu keliatan eh kedengeran banget cuma nempel difilmnya, harusnya
nge-blend. Iya, cuma nempel dan gak berasa, gak menyatu. Kata Om Hanung, memang ada film-film yang terlihat memaksakan diberi soundtrack, sehingga hanya jadi tempelan saja..Entah maaf kalau
mungkin subyektif, mungkin akan lain jadinya kalau soundtracknya digarap Melly
Goeslow – Anto Hoed, mereka master of soundtracknya. Bahkan BCL sama Acha yang
bisa dibilang tidak terlalu istimewa saat bernyanyi bisa terlihat begitu
istimewa saat membawakan soundtrack di film mereka, tentu saja dengan sentuhan
Melly Goeslow. Sedangkan yang ini, Fatin, siapa yang nyangkal fansnya Fatin
banyak? Siapa yang nyangkal kalau suaranya bagus? Siapa yang nyangkal kalau dia
punya faktor X yang gabisa dijelasin? Tapi beneran, menurutku, film ini akan
lebih bagus kalau nggak ada Fatin-nya. Ini bukan berarti aku nggak suka Fatin,
aku hanya sedang ingin menikmati film ini secara utuh. Selain soundtracknya
yang ada suara Fatin-nya yang nggak nyatu sama gambar yang jujur aja pas tadi
tiba-tiba suara Fatin muncul, jadi kayak nonton sinetron di Indosiar -__-,ini
menurutku, tanpa bermaksud apapun, dan ditambah lagi adegan terakhir yang ada Fatin-nya
itu juga terlihat banget terlalu memaksakan. Dan gak nyatu sama cerita filmnya,
sayang. "Wid, kenalin, the next generationnya Melly Goeslow.." kataku. "Prince-mu siapa Dhan? Kalau kamu Melly Goeslow, Anto Hoedmu siapa?" celetuknya. Seketika hening. Ya, mungkin aku akan mencarinya, atau yang dia akan menemukanku. Ehehe.
But over all, film ini masih aku rekomendasiin buat
ditonton. Dan Indonesia, bersiaplah dengan film-film selanjutnya di bulan
Desember. Next film marathon ada film Soekarno, Tenggelamnya Kapal Van Weirck,
Endensor yang sayang banget buat dilewatkan. Dan selalu muncul pertanyaan,
kenapa film Indonesia yang bagus bagus tayangnya numpuk di bulan Desember semua
ya? Hmmm, entahlah, mungkin Pak Produser bisa menjawab? Silahkan tinggalkan
komentar dikolom bawah ini ya. (barangkali ada Goodreaders yang jadi Produser,
hehe)
Dan setidaknya, aku selalu mendapat sebuah energi baru
setelah menonton film. Positif, mengalir deras. Mungkin itulah sebabnya ada
yang bilang, “Film adalah media tercepat mengadakan perubahan”. Baiklah, semoga
berhasil dengan proyek itu. "Dan sebelum itu, buatlah ‘mereka’ mau dan sudi
meluangkan waktunya untuk sekedar menonton film, yang ‘katamu’ bisa merubah kehidupan,
pandangan, dan mimpi ‘mereka’. Karena sekali lagi, membuat orang lain percaya
itu tak semudah duduk menonton film." #RSF
"But you have to know, in every steps you walk on, there always me who stand to support you, anywhere, wherever you do."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Share yukk :))